RSS

Konstruktivis

Konstruktivis

Disela-sela kesibukan dan penyesuaian waktu yang sangat sulit kami lakukan, akhirnya kami jadi juga observasi ke sekolah. Syukurlah... Eh sampai disana, ternyata tidak semulus rencana dan keinginan kami. Guru-guru di sekolah itu menolak kami dengan alasan takut dinilai dan takut sekolahnya dijelek-jelekkan.... Huhhffthh,.. (baru pertama kali ditolak seperti ini). Bicara panjang lebar, akhirnya wakil kepala sekolah mau juga membawa kami ke kelas dan beruntung ada seorang guru yang mau mengizinkan kami masuk ke kelasnya. Senangnya,.. tadak jadi pulang dengan tangan hampa. Kami pun melakukan observasi hanya dengan satu kelas dan dengan waktu yang kurang lebih 15 menit. Lalu kami keluar dan tidak lupa berfoto-foto dulu dengan adik-adik itu. Setelah itu kami melakukan wawancara lagi di kantor dengan bapak guru tersebut terus balik ke kampus untuk mengerjakan tugas kuliah lainnya. Dan sebelum itu kami tidak lupa berfoto-foto dulu.. (satu hal yang tidak akan pernah dilupakan,,hehehe..). Sekarang tugas diposting dan menunggu saat presentasi.

Dan hasilnya bisa di klik di sini dan slidenya .

Terima kasih

Kelompok I

Tugas 3 Kelompok

1. Batasan pembahasan materi :
Kecerdasan Emosional dalam Pembelajaran


2.
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/tag/kecerdasan-emosional/

http://kecerdasanmotivasi.wordpress.com/2010/03/02/emosi-tidak-stabil-suka-turun-naik-sesuai-mood/

http://www.scribd.com/doc/24978947/Skripsi-Psikologi-Hubungan-Antara-Kecerdasan-Emosional-Dengan-Prestasi-Belajar

http://sekolah-dasar.blogspot.com/2009/10/kecerdasan-intelektual-iq-kecerdasan.html

http://www.angelfire.com/mt/matrixs/psikologi.htm#Kecerdasan Emosional

Kesimpulan :

* Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi

* Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang (Daniel Goleman)


* Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya.

* Kecerdasan Emosi mencakup semua sikap atau kemampuan pribadi, seperti :
  • mengenali kesadaran diri ( self awareness)
  • mengelola peraturan diri (self regulation)
  • motivasi diri
  • empati
  • membina hubungan sosial

* Kita memiliki 2 pikiran , yaitu saya yang berpikir (IQ) dan saya yang merasa (EQ), dan keduanya biasanya terdapat keseimbangan (Goleman)

3. Semalam, dapat kabar kalau hari ini akan ada kuliah online, langsung sibuk deh hubungin teman yang bisa diajak buat 'nebeng' (heheheh, maklumlah, belum punya laptop..). Sambil berpikir, gimana yah rasanya? Dan tadi, siap kuliah Sosial jam 11, rasanya lelah sekali dan harus kuliah lagi. Tapi, ternyata menyenangkan, banyak hal baru yang saya dapatkan, walaupun kami lihat kanan-kiri, tanya sana-sini.. Ditambah mengerjakan tugas yang harus sudah diposting jam 1 siang..Kami pun sibuk mengerjakan. Tak berapa lama, listrik mati. Huuuhhfftt,.. Situasi tak mendukung, tapi ternyata jadwal posting tugasnya diundur jadi jam 3 sore,.. Horeee!!! Kami pun berinisiatif pulang ke rumah masing-masing.. Akhirnya, tugas pun selesai... Sekarang kami siap untuk mengerjakan tugas selanjutnya..

Tugas II Kelompok

4 tahapan ujian pembaruan pendidikan menurut Nisbet:

1. The Increase in Workload ( pertambahan beban kerja)
Yaitu suatu konsep baru yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk mengantisipasi kekurangan dari konsep yang sudah ada, sehingga ketika terjadi masalah, kita tidak terlalu repot untuk mencari penyelesaiannya.

Contoh :
Dulu kami punya konsep bahwa ketika hendak mengikuti perkuliahan psikologi sosial, kami tidak perlu memahami topic secara mendalam, cukup hanya membacanya saja. Setelah itu, kami membuat suatu konsep baru behwa untuk mengikuti kuliah psikologi sosial, kami harus benar- benar mambaca dan memahami topic yang diajarkan, agar ketika ditanya dosen kami bisa menjawab dan tidak dikeluarkan dari kelas.

2. Loss of Confidence (kehilangan kepercayaan)
Yaitu pendidik harus mempersiapkan diri dengan baik sehingga ketika peserta didiknya memberikan ide-ide, pendidik tersebut mampu untuk merespon dan peserta didik yakin bahwa pendidik tersebut memang mahir dalam bidangnya.

Contoh :
Pada salah satu mata kuliah di psikologi, ada seorang dosen yang tampaknya tidak siap ketika mengajar (dosen baru). Dan ketika mahasiswa bertanya, dosen itu tidak tahu menjawabnya dan beralasan pertanyaan itu melenceng dari topic yang sedang dibahas, atau pertanyaan itu tidak masuk dalam ujian. Jadi mahasiswa beranggapan bahwa dosen itu tidak mahir sebagai pendidik.

3. The Period of Confusion (masa kacau)
Yaitu ketika konsep baru belum memiliki arah dan tujuan yang jelas, maka masalah atau gangguan mungkin saja terjadi, namun pendidik masih bisa mengatasinya.

Contoh :
Ketika kita dibagi dalam suatu kelompok, dimana kelompok ini belum mempunyai tujuan yang jelas, sehingga memungkinkan terjadinya social loafing, maka pendidik berperan untuk mengarahkan agar tujuan dari kelompok itu jelas.

4. The blacklash
Yaitu jika terjadi masalah, maka dipecahkan menurut upaya-upaya pembaruan.

Contoh :
Kami sulit menghafal begitu banyak bahan mata kuliah di psikologi, kami gunakan mind map.


Tugas 2 Individu

Menurut Nisbet, pembaruan pendidikan bisa melalui 4 (empat) tahapan ujian. Coba kamu pahami dan jelaskan keempat tahapan tersebut dengan menggunakan kalimatmu sendiri, kemudian berikan contoh konkret yang menggambarkan proses pendidikan yang terjadi pada dirimu sendiri.

Jawab:

4 (empat) tahapan ujian pembaruan pendidikan:

1. The incres in workload (pertambahan beban kerja)
Adalah pembaharuan pendidikan (baik itu struktur kurikulum, sistem pendidikan, dan metode pengajaran) harus sudah dipersiapkan dan dirancang sebelum sesuatu hal yang buruk terjadi dan mengganggu pendidikan sehingga ketika permasalahan pendidikan terjadi, kita dapat mengatasinya dan bukan malah baru sibuk mencari penyelesaiannya ketika permasalahan itu terjadi.

Contoh:
Dalam mengerjakan tugas Paedagogi, baik individu maupun kelompok, saya berusaha menyelesaikannya dan meng-uploadnya sebelum deadline pengumpulan tugas agar tidak terjebak dengan masalah jaringan yang tidak connect yang nantinya akan membuat pengumpulan tugas saya terlambat.

2. Loss of confidence (kehilangan kepercayaan)
Adalah seorang pendidik harus mempersiapkan diri terlebih dahulu tentang suatu materi dan menguasainya sehingga terbuka dengan pengembangan ide-ide baru dari anak didiknya sehingga dapat meyakinkan anak didiknya dan tidak canggung.

Contoh:
Ketika saya akan presentasi dalam satu mata kuliah, saya mempersiapkan diri terlebih dahulu mengenai materi yang akan saya presentasikan agar saya dapat menguasai bahan dan dapat mempresentasikannya dengan baik sehingga audiens juga mengerti, paham, dan yakin bahwa saya mampu melakukan presentasi dengan baik.

3. The period of confusion (masa kacau)
Adalah masa dimana arah dan tujuan pembaruan belum jelas, sehingga agak membingungkan peserta didik namun masih dapat diatasi oleh pendidik.

Contoh:
Dalam pertemuan pertama mata kuliah Paedagogi (kontrak), dosen pembimbing memberitahukan bahwa akan ada tugas kelompok untuk mengobservasi metode pembelajaran di dalam sekolah tertentu. Peserta didik awalnya belum mengetahui dengan jelas bagaimana pengerjaannya dan apa saja yang akan diobservasi, namun kemudian dosen menjelaskannya kembali dengan detail sehingga peserta didik mengerti.

4. The blacklash
Adalah upaya-upaya yang dilakukan dalam pembaruan pendidikan ketika muncul kasus yang agak sulit untuk diselesaikan.

Contoh:
Dalam presentasi, ada audiens yang menanyakan tentang suatu hal. Ketika saya tidak bisa menjawab, saya mencoba membuka buku teks dan membacanya, mendiskusikan dengan teman satu kelompok, ataupun meminta pendapat dari audiens yang lainnya.

Susi Tambunan
081301061

"Sederhana, Tapi Butuh Usaha Keras?"

“Dengan lima batang tusuk sate, kami belajar
Dengan lima batang tusuk sate, kami berjuang
Dengan lima batang tusuk sate, kami menyalurkan ide-ide kami
Dengan lima batang tusuk sate, kami berpikir
Dengan lima batang tusuk sate, kami ditantang
Dengan lima batang tusuk sate, kami bekerja keras
Dengan lima batang tusuk sate, kami berinteraksi
Dan dengan lima batang tusuk sate pula, kami yakin
Bahwa kami bisa dan kami tidak akan menyerah”

Analisis proses pengerjaan pembuatan bintang dari tusuk sate dikaitkan dengan teori

Pengerjaan tugas ini dapat dianalisis berdasarkan beberapa landasan, yaitu:

1. Landasan Filosofis

Dalam mengerjakan pembuatan bintang dari tusuk sate, dilakukan metode ilmu berfilsafat, yaitu salah satu kegiatan manusia dimana manusia akan berusaha mencapai kebijaksanaan atau dalam hal ini dapat dikatakan sebagai hasil akhir yang benar (bentuk bintang yang kokoh dan tidak lepas jika diputar-putar). Konsep ciri berfilsafat yang digunakan dalam pembuatan bintang ini adalah berpikir universal; berpikir secara menyeluruh, tidak khusus, tidak terbatas kepada bagian-bagian tertentu; pembuatan bintang itu dilakukan secara berulang-ulang dan berbagai cara yang dianggap kelompok tepat hingga pada akhirnya dapat mencapai kebenaran.

Berdasarkan pemikiran Progresivisme, yaitu sesuai dengan pandangan Rosseau (falsafah naturalisme), pembuatan bintang itu merupakan bentuk dari self activity, freedom, dan self expression dimana tiap kelompok diberikan kesempatan oleh pendidik, kebebasan untuk melakukannya sesuai dengan keinginan mereka (dosen hanya memantau dan mahasiswa yang melakukan tugas). Di dalam kelompok juga ada komunikasi dan interaksi ketika bertukar pikiran mengenai bagaimana cara pembuatan bintang tersebut dan untuk hasil yang lebih baik.

Sesuai dengan pandangan John Dewey (filsafat pragmatisme), pembuatan bintang ini juga termasuk tujuan pendidikan yang bersifat temporer, yang berarti apabila suatu tujuan telah tercapai maka hasil tujuan tersebut menjadi alat untuk mencapai tujuan berikutnya. Hal itu tampak ketika pembuatan bintang telah tercapai, maka hasilnya menjadi alat yang digunakan untuk menganalisis bagaimana proses pengerjaan dan cara yang digunakan dalam membuatnya. Dalam prosesnya pun, menekankan pada kekreatifan dan tidak dipisahkan dari lingkungan. Dosen juga tidak berperan langsung, melainkan memberi petunjuk kepada mahasiswa sehingga mereka dapat merencanakan perkembangannya sendiri dan dosen harus membimbing kegiatan belajar-mengajar.

Berdasarkan pemikiran Perenialisme, ketika anak gagal dalam belajar maka guru tidak boleh dengan cepat menyatakan bahwa itu salah namun pendidik tetap menyemangati agar murid bekerja dan mencoba lagi. Itu tampak ketika dosen tetap memberikan dorongan terhadap beberapa kelompok yang belum bisa membuat bintang itu dengan baik, khususnya kepada kelompok kami yang merupakan kelompok yang terakhir selesai membentuk bintang yang kokoh. Dorongan itu berpengaruh besar sehingga kami tetap mencoba dan mencoba hingga akhirnya juga berhasil untuk membentuk bintang.

Ketika membuat bintang itu juga, terdapat konsep pendidikan yaitu:

Comprehensive sehingga keseluruhan persoalan pendidikan mendapat tempat perhatian dalam rangka filsafat pendidikan. Tampak pada pengerjaannya yang memerlukan proses berpikir yaitu ketika memikirkan cara membentuk bintang yang kokoh dengan pemikiran yang komprehensif.

Consistency sehingga ada kesesuaian antara pengetahuan dan apa yang diketahui, yaitu ketika ide yang kami pikirkan sesuai dengan bentuk alat yang tersedia.

• Ide-idenya harus dapat dilakukan; setiap anggota memberikan ide bagaimana cara untuk membuat bintang tersebut dan ide itu harus logis dan tidak merusak tusuk sate yang ada.

• Mencari kebenaran yang dapat dijadikan pedoman guiding principle. Kelompok mempunyai tujuan yaitu membentuk bintang dengan baik dan itu dijadikan pedoman dalam penyelesaian pengerjaan bintang tersebut.


2. Landasan Psikologis

Pembuatan bintang dari tusuk sate merupakan satu proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Sesuai dengan taksonomi Bloom dan kawan-kawan, pembuatan bintang itu memerlukan tiga kemampuan (domain) yaitu:

1. Kognitif (cognitive domain)

Meliputi kemampuan memahami, menerapkan dan mensintesis. Di sini dibutuhkan kemampuan untuk menangkap makna tugas pembuatan bintang, kemudian menggunakan teori-teori kreativitas yang sudah dipelajari ke dalam pembuatannya, sehingga kami akhirnya mampu membentuk bintang itu.

2. Afektif (affective domain)

Kemampuan ini meliputi beberapa sikap, yaitu:

- Menerima (receiving) → setiap anggota kelompok bersedia memperhatikan petunjuk dosen tentang tugas ini.

- Menanggapi (responding) → setiap anggota aktif berpartisipasi dan mencoba menerapkan ide yang dipikirkannya.

- Menghargai (valuing) → kami menghargai tusuk sate tersebut dan berhati-hati karena jika rusak tidak akan diberi gantinya lagi.

- Membentuk (organization) → kami mencoba ide-ide yang ada, dan tetap berusaha bekerja sama walaupun kami sempat pusing dan bingung hendak membuat cara apa lagi agar bintang tersebut dapat terbentuk.

3. Psikomotor (psychomotor domain)

Yaitu kemampuan yang menyangkut kegiatan otot dan kegiatan fisik. Hal ini tampak ketika kami berusaha membentuk bintang dengan memasukkan salah satu tusuk sate ke pengait yang ada, melebarkan bentuk lampion, dan mencoba memutar-mutar bintang ketika sudah terbentuk untuk menguji apakah sudah kokoh atau tidak.

Pembuatan Bintang adalah Penerapan Bentuk Belajar

Tugas pembuatan bintang ini dapat dikelompokkan ke dalam berbagai bentuk pembelajaran.

Sesuai dengan teori A. De Block tentang bentuk belajar, pembuatan bintang ini dapat dimasukkan ke dalam jenis belajar kognitif, belajar estetis, dan belajar dengan mencoba-coba. Membuat bintang yang kokoh diperlukan proses berpikir dan kemampuan membentuk bintang yang bagus. Dan yang paling sering kami lakukan adalah bentuk belajar mencoba-coba (trial and error). Kami mencoba-coba hingga beberapa kali sehingga pada akhirnya menemukan hasil yang tepat.

Sesuai dengan teori Van Parreren, termasuk ke dalam bentuk belajar untuk belajar. Kami mencoba satu cara membentuk bintang itu, kemudian dilihat apakah bintang yang terbentuk sudah kokoh dan tidak lepas jika diputar-putar. Jika masih lepas, kami mencoba lagi cara yang lain dan tidak mengulangi cara yang sebelumnya.

Sedangkan sesuai dengan teori Gagne, pembuatan bintang ini termasuk ke tipe VIII yaitu belajar memecahkan problem, dimana kami menggabungkan ide-ide kami untuk mencari pemecahan masalah yaitu terbentuknya bintang yang kokoh.

Akhir Kata
Berdasarkan pengalaman kelompokku, tugas pembuatan bintang ini tampak sederhana tetapi ternyata penyelesaiannya tidak sesederhana bahan-bahan yang disediakan. Kami memerlukan usaha yang cukup signifikan, karena diantara enam kelompok yang ada, kami adalah kelompok yang paling lama menyelesaikannya. Tapi, kami tetap semangat berkat dukungan dosen pembimbing (Bu Dina) dan ini adalah salah satu proses belajar yang menarik dan tidak membosankan.

Susi Tambunan
081301061
Tangal Penyelesaian tugas : 18 Februari 2010

Referensi
Riyanto, H. Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Salam, Burhanuddin. 2002. Pengantar Paedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: Rineke Cipta.

Hasil Diskusi Kelompok Paedagogi "Pembuatan Bintang dari Tusuk Sate vs Tusuk Gigi"

1. Mengapa dengan lidi tusuk sate bisa membentuk bintang yang tidak lepas daripada menggunakan lidi tusuk gigi?

1. Karena lidi tusuk sate lebih panjang daripada lidi tusuk gigi

2. Karena lidi tusuk sate lebih mudah dikaitkan daripada lidi tusuk gigi

3. Karena setiap lidi tusuk sate punya pengait sehingga lebih mudah dalam mengaitkannya dan kaitannya ini berbentuk lampion, sehingga ketika dikaitkan bintang yang terbentuk menjadi lebih kuat dan susah lepas meskipun diputar-putar.

2. Bagaimana anggota kelompok bersinergi di dalam kelompok dalam membuat bintang dengan lidi?

Kami membuat bintang awalnya dengan melakukan teknk trial and error yaitu dengan mencoba berbagai cara tanpa memikirkan teknik-teknik yang lain dan memang ini adalah cara yang salah dan menghabiskan waktu, namun kami tetap bersemangat karena Ibu Dina selalu memberikan kami semangat dan motivasi bahwa kami pasti bisa melakukannya. Kemudian kami mengubah teknik yaitu dengan mencoba membuka lampion yang ada di ujung lidi itu. Kami membuat lampion menjadi pengait lidi yang satu ke lainnya tapi kenyataannya tidak berhasil dan Ibu Dina juga mengatakan kalau lampion itu bukan menjadi pengait lidi. Lalu kami berpikir lagi apalagi melihat kelompok lain sudah selesai dan tinggal kelompok kami yang belum selesai. Kami mencoba lagi dengan mengaitkan ujung lidi ke bawah lampion (yang mengaitkan lampion dengan lidi) dan mengatur mana lidi yang di atas dan mana yang di bawah dan akhirnya kami berhasil.